Lisa Febrianti : Ada Cinta di Museum

Hari ini, 10 November 2013, merupakan hari terakhir delegasi Pertukaran Pemuda Indonesia - Korea (PPIKor) melakukan tugas negara di Korea Selatan. Ada yang menarik saat kunjungan terakhir ini, dimana kami sebagai delegasi pemuda Indonesia berkunjung ke sebuah museum bernama Museum Dukbojin. Saat masuk ke dalam museum ini, saya langsung disambut ramah oleh seorang kaek berkebangsaan Korea bernama Kim Dongseong, Beliau merupakan pemilik dari museum ini. “Aigoo, nomu yepputa!” seru seorang kakek yang lahir 67 tahun silam. Dalam bahasa Indonesia, kalimat tersebut memiliki arti, “Wah, kamu cantik sekali!” Sapaan hangat dari pemilik museum ini membuat saya semakin penasaran terhadap isi bangunan yang sederhana ini.

Museum Dukbojin ini terletak di sebuah desa terpencil bernama Gimpo, merupakan museum pendidikan
yang Beliau bangun sendiri dengan kerja keras Beliau mengumpulkan barang-barang antik miliknya maupun barang donasi selama tiga puluh tahun. Museum pendidikan ini Beliau dedikasikan untuk istri Beliau, Lee In Sook, seorang guru SD yang buta akibat kecelakaan 20 tahun silam. Melihat istrinya yang terus-terusan bersedih di rumah akhibat kebutaan yang dialami,  Kim Dongseong membangun museum pendidikan ini untuk membahagiakan istrinya agar istrinya tetap dapat mengajar meskipun dalam kondisi terbatas.



Museum ini terbentuk pada tahun 1996, di dalamnya terdapat kelas belajar yang sangat sederhana dan tua. Kursi-kursi yang mulai keropos, penghangat ruangan tradisional dengan menggunakan kayu bakar, dan piano yang usang memenuhi ruangan kecil ini. Namun dengan keterbatasan dan kesederhanaan tersebut sama sekali tidak mengurangi semangat sepasang suami istri ini untuk mengajar. Lee In Sook mengajarkan kami musik, menyanyi, hingga tepuk kesehatan. Walaupun mengalami kebutaan, sang nenek sangat lancar memainkan tuts demi tuts piano. Selain sang nenek, sang kakek juga bercerita dengan begitu semangat hingga juru bahasa kami, Kim Sun Woo, tidak sempat mengartikan semua kata-kata sang kakek ke dalam bahasa Indonesia. Kami hanya menebak arti kata-kata tersebut dibantu dengan bahasa tubuh sang kakek dan juru bahasa sambil sesekali tertawa karena cerita kakek yang lucu. 

Kakek mengajarkan kami tentang bagaimana orang jaman dahulu menulis tanpa buku, bagaimana bentuk tas sekolah mereka dulu, sepatu, bola kaki, dan seragam sekolah mereka. Seseorang dari kami mencoba untuk membaca hangeul atau huruf alphabet Korea yang ditulis kakek pada secarik lukisan. Sang kakek terlihat sangat senang sekali saat salah satu dari kami dapat membaca tulisannya. “Dulu tidak ada kertas saat sekolah, jadi kami semua menulis di pasir sebagai pengganti buku,” ujar sang kakek menjelaskan. Salah seorang dari kami, Abdul Haris, peserta program asal Sulawesi Tengah, juga menulis namanya dalam alphabet Korea pada buku pasir milik sang kakek. 

Selain menjelaskan tentang peralatan sekolah, kakek juga menjelaskan arti dari bunyi lonceng sekolah. Lima kali pukulan, berarti siswa-siswi harus ke lapangan. Tiga kali pukulan, berarti masuk; berasal dari kata tu-ro-ga, dalam bahasa Korea berarti masuk. Dua kali pukulan berarti pulang; berasal dari kata na-ga, dalam bahasa Korea yang berarti pulang. Sungguh pengalaman belajar yang sangat menarik.
Hari ini kami semua belajar banyak, bahwa kurangnya materi bukan penghalang untuk   menciptakan kebahagiaan, kekurangan bukan alasan untuk tidak berbagi, fisik bukan penghalang untuk memberi manfaat bagi sesama, serta ketulusan dan pengorbanan suami demi cintanya kepada istri. Walaupun membutuhkan waktu yang lama untuk membangun museum pendidikan ini, namun kerja keras kakek tidak sia-sia, karena museum ini dapat memberi manfaat dan pengetahuan banyak dalam dunia pendidikan. 


Kisah ini sangat menginspirasi saya sebagai pemuda, bagaimana seorang kakek yang sudah renta dan kekurangan dari segi materi mampu membangun ruang belajar untuk istrinya dan museum tiga lantai, lengkap dengan berbagai koleksi yang sangat bermanfaat bagi dunia pendidikan. Menurut saya, Indonesia perlu membuat museum semacam ini agar generasi sekarang dapat mengetahui bagaimana revolusi pendidikan yang ada di Indonesia, sehingga dapat memacu semangat generasi muda untuk belajar dengan lebih giat lagi. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi pembaca untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi sesama.  

PCMI Kepri

No comments:

Post a Comment