Ferri Lee - Perjalanan Dua Budaya, dari HALLYU hingga SAMPURASUN -Part 1

 Ginseng Tumbuh Subur di Kaki Gunung Ciremai: Perjalanan Dua Budaya, dari HALLYU hingga SAMPURASUN  -Part 1

Lokomotif bewarna biru melaju dengan teratur melintasi ruang-ruang di Bandara Soekarno-Hatta, siang hari 30 November 2014. Barisan lokomotif itu adalah 17 pasang pemuda dari seluruh pelosok Nusantara (34 peserta dari 31 Provinsi Indonesia). Kami adalah delegasi untuk program Pertukaran Pemuda Indonesia – Korea Selatan Tahun 2014 dan hari itu kami akan terbang ke negeri ginseng sebagai sebuah keluarga. Program pertukaran pemuda ini difasilitasi oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia dengan Ministry of Gender Equality and Family Republic of Korea (Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga Republik Korea).






 Aku bekesempatan mewakili Provinsi Kepri dalam program ini, sungguh berterima kasih kepada keluargaku di Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI) Kepri dan program Indonesia-Korea Exchange Program (IKYEP) yang memberikan kesempatan untuk melakukan perjalanan singkat, inspiratif dan bermakna ke negeri ginseng. Sekali lagi aku ingin bersyukur dan mengajak teman-teman untuk selalu mensyukuri nikmat Tuhan, Amin. 


Aku mempunyai sebuah cerita yang menarik, sebuah cerita sederhana yang kesederhanaan ceritaku ini, dapat membuat diriku menjadi lebih bahagia dan akan terus belajar untuk bersyukur. Pejalananku kali ini mengantarkan pada keluarga yang sederhana nan sempurna, keluargaku berasal dari kota dan desa (dua budaya berbeda, dua perbedaan, dua pandangan, dua panutan yang berasal dari Korea Selatan dan Kuningan, Jawa Barat).
Pertama aku akan bercerita dari fase Korea Selatan. Perjalananku untuk bertemu dengan keluarga Lee dimulai.

Cinta datang dengan wujud yang kita harapkan
Lalu lintas terlihat ramai dan terdengar deru suara mobil melaju dengan kencang, saling mendahului, ban mobil berputar sesuai dengan irama nan harmonis menyusuri jalanan raya di sebuah kota, dekat Incheon, Korea Selatan. Aku dan keluarga baruku melaju dari Si-heung City Hall ke rumah baru kami yang berada di The Sharp Green Square Apartement, Si-heung, Korea Selatan untuk menjalani program homestay. Selama program homestay ini aku tinggal bersama dengan kedua saudaraku dari Yogyakarta dan Papua. Aku menyadari begitu banyak perbedaan di antara kami. Keluarga Lee mempunyai 4 anggota keluarga (papa, mama, dan dua anak) tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, dari keluarga sederhana nan harmonis ini aku mempelajari sebuah keharmonisan dan keseimbangan dalam kehidupan.


Dari keluarga Lee, aku juga belajar menghargai satu sama lain, belajar mendengarkan pendapat orang lain, belajar mendengar dan menerima masukan dari orang lain, saling menghormati dan toleransi terhadap perbedaan yang ada. Tuhan, aku beruntung bisa belajar banyak hal dari keluarga baruku ini, aku memang bukan lahir dari keluarga yang sempurna, aku tidak marah Tuhan, aku yakin Engkau mempunyai rencana yang Indah untuku. Walaupun aku tidak mendapatkannya dari orang-orang terdekatku, aku dapat menerimanya dari orang lain, dan aku tidak mempermasalahkan itu, itulah CaraMu dan aku bersyukur. Dengan keluarga baruku ini, kami berbagi cerita dari suka hingga duka, saling bertukar cerita dan pengalaman, banyak pelajaran dan makna perjalanan hidup yang dapat kupelajari disini.



Cinta tidak selalu datang dengan wujud yang kita harapkan

Tangan dan bibir bergetar menahan dinginnya udara pagi ini, hari menunjukan pukul 08.00 pagi waktu Korea, saat matahari mulai bersinar dengan indahnya. Cuaca pagi itu begitu dingin dengan suhu di bawah rata-rata suhu Indonesia, sangat dingin. Aku rindu dengan suasana di pagi itu suasana yang membuatku terharu akan manisnya arti sebuah keluarga. Suasana hangat bersama keluarga Lee.
Masih teringat dengan jelas bagaimana papa membuatkan secangkir kopi hangat untuk menghangatkan tangan, bibir atau bahkan kepribadian kaku ini di kala pagi. Masih teringat dengan jelas, aku hampir meneteskan air mata taklala papa memberikan secangkir kopi hangat itu. Papa mengatakan “minumlah, ini adalah kopi khas Korea, kamu harus mencobanya”. Aku tak menyangka, ternyata papa begitu lembut, papa begitu cinta dengan keluarganya, sebelumnya aku berpikir bahwa papa adalah orang yang kaku dan apatis, karena keseharian papa yang bekerja sebagai seorang ahli mesin. Well, mungkin kelihatannya sangat berlebihan tapi bagiku ini adalah tindakan kecil yang sangat berarti. Aku jarang mendapatkan perhatian dan sentuhan hangat seperti ini dari papaku sendiri. Dengan hati dan tangan gemetaran ditambah wajah bingung akupun menerima kopi tersebut sembari mengucapkan “thank you papa” dan papa pun menjawabnya dengan “welcome” hati ini sangat terharu, terima kasih papa sudah begitu perhatian.
Secangkir kopi hangat yang disuguhkan oleh papa pada pagi itu bagai teguran dan cambukan untukku. Hatiku berkecamuk hebat aku terharu, aku sedih, aku menyadari wujud cinta itu tidak datang sesuai dengan yang kita harapkan tapi mereka datang dengan bentuknya yang unik dan kadang kita tidak menyadari itu. Wujud cinta datang dengan bentuk yang kita butuhkan, bentuk yang kita perlukan untuk mengisi kehampaan hati. Wujud cinta datang dan pergi tanpa kita sadari, seperti secangkir kopi hangat dari papa, itulah wujud cinta kasih orang tua terhadap anaknya, wujud cinta yang abadi diwujudkan dengan perbuatan yang sederhana dan sarat akan makna. Banyak pelajaran yang dapat sama-sama kita petik dari kejadian ini. hargailah setiap momen sekecil apapun dalam hidup kita, renungilah maka akan menjadi luar biasa. 
Malam sebelum program homestay ini berakhir kami satu keluarga pergi bekeliling kota, menyusuri jalanan kota yang sejuk. Sebelumnya aku menolak, karena aku tahu papa baru pulang kerja, aku berpikir pasti papa lelah. “Ayo kita jalan-jalan keliling kota” ajak papa kepada kami, aku berseru “sebenarnya kami sangat suka jalan-jalan, apalagi ini adalah tempat baru bagi kami, tapi papa tidak lelah? papa baru pulang kerja, sepertinya butuh istirahat” papa menjawab “hahahaha, tidak masalah, hanya sedikit lelah, mari kita jalan”. Akhirnya kami berjalan berkeliling kota Si-heung dan Incheon sembari bercerita, senda gurau dan tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto ria. Ahhhhhh, sungguh momen yang luar biasa.  

Perjalanan di malam itu diakhiri dengan makan malam disebuah restoran cepat saji, kami memesan beberapa menu andalan, papa memesan beer dan ayam goreng, sementara untuk kami papa memesankan coca cola dan ayam goreng, papa tidak memesankan beer karena papa tahu itu kami belum boleh meminumnya. Ada kejadian lucu terjadi selama proses order menu. Papa bercerita bahwa dikorea punya istilah yang unik untuk makanan ayam dan minuman beer, papa mengatakan “di Korea kami menyebutnya Chimaek”. Ucapan papa sewaktu menyebutkan kata Chimaek terdengar ditelingaku seperti Cimeng dalam hati aku berguman “waduh, ini sejenis narkoba ya”. Hahahah, papa menjelaskan lagi bahwa Chimaek adalah sebuah istilah yang terdiri dari dua makna chi untuk ayam dan Maek asal kata maekju adalah sejenis beer dari korea, jadi chimaek adalah menu ayam dengan minuman beer, begitu penjelasan papa berakhir, aku hanya tersenyum-senyum malu, karena salah pendengaran dan pengertia, tentunya diiringi takjub karena ternyata di Korea juga ada istilah-istilah gaul seperti di Indonesia. Terima kasih Tuhan, aku mendapatkan keluarga yang begitu baik, dan begitu perhatian. Mama juga tidak kalah hebatnya, dibalik keharmonisan keluarga ini saya yakin ada sosok perempuan yang hebat yaitu mamaku. Aku ingin lebih lama lagi tinggal bersama mereka, namun apa daya, besok aku harus kembali bertemu dengan teman-temank untuk melanjutkan perjalanan.

Suasana hatiku di siang hari ini begitu sepi, aku menahan sakit, menahan rasa kehangatan yang sebentar lagi akan hilang. Tepat sekali, siang ini adalah akhir dari program homestay dan aku harus berpisah dengan keluarga baruku. Aku belum siap, aku masih ingin bersama mereka, belajar dari mereka tentang makna dari sebuah keluarga. Waktu menunjukan Pukul 14.00 dan akupun diantar bersama dengan saudara lainnya ke Si-heung city hall untuk bertemu dengan keluarga lainnya yang juga menerima teman-temanku sesama delegasi Indonesia. Aku sedih harus berpisah, aku benci perpisahan, mengapa setiap pertemuan harus diakhiri dengan perpisahahan, tapi beginilah realita hidup. Akupun berpamitan dengan kedua orangtuaku, menyalami mereka dan mencium punggung tangan mereka. Mereka kaget, aku menjelaskan bahwa mencium punggung tangan adalah ungkapan sayang dan rasa hormat di Indonesia kepada yang lebih tua dan merekapun menyambutnya dengan senyum yang ramah.
Saat perpisahan aku mengucapkan terima kasih karena telah menerimaku menjadi bagian dari keluarga mereka, terima kasih papa, terima kasih mama. Aku tidak akan lupa kebersamaan kita yang singkat ini, akan kukenang di dalam relung hatiku yang terdalam. Terima kasih telah mengajariku banyak hal, aku berdoa semoga papa dan mama selalu diberkahi kesehatan, umur yang panjang dan kebahagiaan. Terima kasih untuk waktu yang luar biasa ini. Aku mencintai kalian.

Bersambung ...















PCMI Kepri

No comments:

Post a Comment